Kenaikan Standar Kelulusan Unas

Kenaikan Standar Kelulusan Unas

Oleh : Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya

Permendiknas No 78/2008 menetapkan standar kelulusan dalam ujian nasional (unas) 5,50 dengan nilai minimal 4,0 paling banyak di dua mapel dan 4,25 di mapel lain. Angka ini naik 0,25 dibanding tahun lalu. Apa makna kenaikan standar kelulusan tersebut? Adakah permendiknas itu akan meningkatkan prestasi belajar siswa? Atau apakah permendiknas itu justru menjadikan unas sebagai momok yang kian menakutkan banyak pihak?

Sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, saya mencoba memahami karakteristik unas.
Selama ini unas cenderung dikemas sebagai sistem evaluasi yang menggunakan asumsi pendidikan behavioristik. Dalam tradisi behaviorisme, kata Mary James, evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hierarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006: 55).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion), dan salah atau benar (true or false). Tes objektif dijadikan pilihan karena praktisi pendidikan behavioris memandang kekuatan menghafal siswa adalah sesuatu yang dipandang sangat penting.

Dari Kognitif ke Metakognitif

Unas tak dapat dimungkiri bukan hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial. Hampir bisa dipastikan, peningkatan standar kelulusan ujian nasional akan mendorong peningkatan kecemasan banyak pihak. Ancaman tidak lulus kian jadi momok. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan penyelenggara unas itu sendiri, akan mengalami tekanan psikologis yang semakin besar.

Seharusnya tekanan psikologis seperti itu dihadapi dengan semakin meningkatkan proses dan motivasi belajar. Namun, praktiknya tekanan psikologis itu justru dihadapi dengan sejumlah praktik perilaku menyimpang. Setiap tahun selalu muncul kasus pencurian soal, perjokian, kepala sekolah membuat tim sukses, mengajari anak-anak didiknya sendiri bekerja sama, bukan dalam kebaikan, tetapi ketika mengerjakan soal unas.

Dengan ongkos sebesar itu, unas faktanya hanya mengukur satu dimensi kecerdasan, yaitu dimensi kognitif saja dari sekian multidimensi intelegensia siswa. Walaupun unas masih mensyaratkan siswa harus lulus di ujian sekolah, betapapun bagusnya nilai ujian sekolah tidak bisa dijadikan kompensasi terhadap nilai unas yang berada di bawah standar kelulusan. Para ahli pendidikan konstruktivistik memandang dimensi kognitif belum cukup dijadikan dasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks. Dimensi kognitif memang menjadikan siswa cerdas dan pintar.

Namun, seperti yang digagas penganut pendidikan konstruktivistik, untuk dapat menghadapi kehidupan yang kompleks ini, siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, afektif maupun motorik. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa dihadapi dengan kecerdasan tunggal, dalam hal ini kognitif saja. Kecerdasan itulah yang memungkinkan lahirnya resilience behavior, yakni perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.

Dengan resilience behavior yang baik, siswa dapat menentukan arah hidupnya sendiri (self-directing) dalam membangun masa depan. Siswa juga dapat memonitor sendiri (self-monitoring) dengan senantiasa bersikap kritis terhadap apa yang selama ini dia lakukan. Siswa juga bisa melakukan penataan dan antisipasi sendiri (self-regulation) dalam memecahkan masalah.

Bandingkan dengan model evaluasi yang diterapkan dalam unas yang memilih memakai sistem tes objektif. Pemerintah sebagai penyelenggara unas memang diuntungkan karena pekerjaan evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan dengan gampang. Mereka dapat menggunakan komputer untuk melakukan skoring hasil tes objektif siswa dengan cepat. Namun, siswa hanya diuntungkan dalam menguasai dan menghafal pengetahuan yang dirancang kurikulum dan silabus.

Penilaian Otentik

Hanya dengan mengajari siswa tentang hidup dan kehidupanlah, output dan outcome pendidikan kita akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten sehingga menjadikan ilmu pengetahuannya bermakna. Sistem evaluasi yang menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang dapat menjadikan ilmu pengetahuan yang diperoleh bermakna untuk dirinya dan sesama.

Model penilaian otentik ini tidak mengandalkan pemberian tanda dan skoring, salah atau benar, melainkan menilai kondisi mentalitas kepribadian yang dilakukan dalam setting yang nyata, seperti penyelesaian tugas tertentu. Misalnya, dalam menyelesaikan tugas membuat desain arsitektural, pemahaman dan pemanfaatan sumber daya alam tertentu, membaca perilaku anak jalanan, membaca akar kekerasan berikut pemecahannya, perilaku ekonomi politik komunitas tertentu, dan sebagainya.

Strategi penilaian otentik tidak mengedepankan tes objektif, melainkan lebih mengedepankan model evaluasi terfokus sehingga diketahui intensitas perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu, melihat profil siswa, membuat jurnal dan portfolio pembelajaran siswa, contoh-contoh penyelesaian tugas, penilaian kawan baya dan sekaligus self-evaluation siswa itu sendiri.

Jika strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa diharapkan pendidikan menghasilkan manusia yang benar-benar kompeten, baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun dalam membangun kehidupan bermakna bagi dirinya serta sesama. [Padeks, 4/01/2009]

Posted on Januari 10, 2009, in Tak Berkategori. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar